Kisah pilu di tanah para nabi.
by: daynimh
Aku Masih Menghafal Nama-Nama Bintang
Aku belajar menghitung suara malam dari bunyi yang tak bisa dipelajari siapa pun di sekolah: dengung panjang yang mengiris telinga, getar jendela yang tak lagi punya kaca, dan debu yang merayap masuk seperti hujan yang lupa cara menjadi air. Sejak hari itu, malam di Gaza punya lidah sendiri—menjilat-jilat dinding, membisikkan kabar yang tak ingin kami dengar.
Namaku Rahman. Umurku delapan, mungkin sembilan. Ibu tidak yakin karena kalender kami ikut runtuh di hari toko kelontong pamanku jadi bara. Aku dulu menghafal nama-nama bintang dari buku tipis pemberian guru Ilmu Pengetahuan—kertasnya bau kertas baru, putih seperti awan yang berani. Sekarang, buku itu berwarna abu-abu dan rasanya seperti pasir. Tapi aku masih menghafal bintang-bintang. Katanya, kalau kita tersesat, bintang bisa menunjukkan jalan pulang. Aku hanya tidak tahu pulang ke mana.
Pagi ini, kami mengantri air di ujung gang. Jerigen biru lebih tinggi dari adikku, Salma. Ibu mengikatkan saputangan pada mulut jerigen karena katanya debu punya cara licik untuk menyelinap ke tenggorokan. Di depan kami, ada kakek yang terus menatap sisa-sisa langit seperti ingin mengajarkan langit cara memeluk manusia. Sesekali, ibu menyeka pelipisnya, dan Salma menggambar di udara dengan telunjuk, seolah ada papan tulis yang tak terlihat. “Aku menggambar layang-layang kita,” katanya. Aku mengangguk. Layang-layang itu pernah terbang tinggi di atas atap rumah kami—merah, dengan ekor dari pita-pita plastik yang kami temukan di pasar. Hari itu, angin begitu baik.
Sekarang angin sering membawa bau gosong dan besi. Tapi angin juga masih membawa suara adzan dari pengeras suara yang retak. Dan saat adzan datang, ibu menatapku seperti menatap sebuah pintu. “Bacakan doa,” katanya. Aku menggumamkan doa-doa yang kuingat, mencoba tak kehilangan satu pun kata, seperti menahan agar setitik cahaya tak tercecer di jalan.
Sekolahku dulu berdiri di ujung jalan, dekat pohon zaitun yang paling tua. Aku suka memeluk batangnya bila jantungku berdegup terlalu keras karena ulangan. Di kelas, ada jam dinding yang selalu telat lima menit. Kami senang, karena artinya waktu istirahat datang lebih cepat. Suatu siang, guru kami bilang, “Setiap pohon adalah kenangan yang tumbuh.” Aku baru mengerti kalimat itu saat melihat pohon zaitun terbaring—akar-akarnya seperti jari-jemari yang meminta maaf kepada tanah.
Kadang aku menutup telinga dengan kedua tangan dan berpura-pura sedang menyelam di laut. Di laut, bunyi terdengar seperti gumpalan kapas—tenang, lembut. Ayah pernah berjanji mengajarku berenang. Tapi ayah tidak pulang. Ibu bilang, “Kita simpan namanya di dada.” Aku mencoba. Aku menyimpan ayah di tempat di mana detak jantung paling terdengar, lalu setiap malam, ketika aku menatap bintang, aku memanggilnya pelan agar tidak membangunkan Salma. Mungkin namanya mengapung di udara dan singgah pada sayap burung yang masih berani terbang.
Di penampungan, kami tidur bergiliran di atas tikar. Ada bayi yang terus mencari ibunya dalam mimpi, bibirnya mengisap-isap udara. Ada kucing belang tiga yang tak mau pergi, matanya kuning dan selalu menyelinap di kaki-kaki kami. “Kucing juga hafal rumah,” kata Salma. “Kalau begitu,” jawabku, “kita akan jadi seperti kucing—menghafal jalan menuju pulang.” Salma tertawa kecil, tapi suaranya seperti diam.
Malam paling sulit saat lampu padam. Gelap di sini bukan gelap biasa. Ia punya beratnya sendiri. Kami menyalakan lilin, sumbu kecil yang melawan semesta. Bayang-bayang menari di dinding yang bukan dinding rumah kami. Aku memandangi nyala itu, membayangkan setiap api adalah mata orang-orang yang mencintai kami dari jauh. “Apakah ada orang yang memikirkan kita?” tanyaku pada ibu. Ibu mengangguk. “Ada. Mereka menulis, mereka menangis, mereka berdoa.” “Apakah doa bisa jadi roti?” Selalu saja pertanyaan-pertanyaan itu tergelincir dari mulutku, seperti kerikil yang tak bisa diam. Ibu tersenyum tipis. “Kadang doa menjadi tangan. Tangan-tangan itulah yang membagi roti.”
Suatu sore, kami mendapat sepotong roti lebih. Relawan membungkuk, menatap mataku, lalu menyelipkan potongan kecil lain—“untuk adikmu,” katanya. Aku ingin sekali menggambar wajahnya di buku tipisku, tetapi pensilku patah, dan serpihan grafitnya hilang di sela-sela tikar. Jadi aku menggambarnya di kepala: lelaki dengan alis tebal, mata yang seperti menyimpan hujan. Ketika ia pergi, aku memikirkan betapa banyak langkah yang diperlukan untuk membawa roti sampai ke sini. Mungkin lebih banyak dari jumlah bintang yang bisa kuingat.
Aku sering mengajak Salma bermain menebak bentuk di langit: awan-awan yang koyak menjadi kapal, menjadi burung, menjadi rumah dengan jendela. “Lihat,” kataku, “itu rumah kita.” Salma mengerutkan dahi. “Tapi jendelanya tidak punya tirai biru.” “Kita jahit lagi tirainya dari potongan langit,” jawabku. Kami tertawa. Awan bergeser, dan rumah itu bubar. Tapi di dalam tawa kami ada sesuatu yang bersikukuh. Ibu tahu. Ia memeluk kami dan berkata, “Kalian membuat langit lebih ringan.”
Ada hari-hari ketika semua ini terasa seperti mimpi buruk yang menolak bangun. Seorang wanita kehilangan anaknya, ia memanggil nama yang sama berulang-ulang sampai namanya kehilangan makna dan berubah menjadi ratap yang panjang. Seorang kakek menatap sepatu kecil yang bukan lagi punya siapa-siapa. Seorang remaja memeluk gitar tanpa senar, duduk di ambang pintu yang tidak mengarah ke mana pun. Aku menyaksikan semuanya, merasa tubuhku mengembang dan menyusut seperti balon di dada. Aku ingin menutup mata selamanya, tapi ada Salma yang harus kupeluk. Ada ibu yang harus kupegang tangannya agar tidak jatuh ke jurang yang tak terlihat.
Malam ini, angin membawa suara ombak dari jauh. Aku belum pernah benar-benar memeluk laut; hanya sekali, dari kejauhan, ayah menunjuk garis yang memisahkan biru dan biru. “Di sana, cahaya selalu datang kembali,” katanya. Aku belum mengerti, tetapi sekarang aku ingin percaya. Kami duduk bertiga di tangga penampungan, menatap langit bangkai yang masih berusaha jadi langit. Ibu menutup mata, bibirnya bergetar pelan. Aku ikut menutup mata, memegang jari-jarinya. Salma bersandar di bahuku, napasnya tipis seperti kertas.
“Apa yang kamu doakan?” tanya ibu, setengah berbisik.
“Aku berdoa agar esok hari punya pintu,” jawabku. “Pintu apa saja. Pintu rumah, pintu sekolah, pintu yang kalau kita buka, ada suara tawa menunggu di dalam.”
Ibu mencium kening kami. “Kalau esok punya pintu,” katanya, “kita akan mengetuknya bersama.”
Aku mengangguk. Aku membayangkan sebuah pintu kayu sederhana, catnya sedikit mengelupas, tapi gagangnya hangat seperti tangan. Di belakang pintu itu, aku mendengar suara halaman kelas: kapur yang mencoret papan, kursi yang digeser, dan jam dinding yang telat lima menit—keterlambatan yang paling kurindukan di dunia. Aku membayangkan pohon zaitun berdiri lagi; akarnya menyapu tanah, meminta izin untuk tumbuh. Aku membayangkan ayah tertawa, memegang layang-layang merah kami, ekornya merapikan langit yang berantakan.
Sebelum tidur, aku mengeluarkan batu kecil dari saku—bulat, dingin, licin. Aku menemukannya dekat puing rumah kami. Batu itu tak punya nama, jadi aku menamainya “Pulang”. Setiap malam, aku memindahkan “Pulang” dari saku kiri ke saku kanan, seperti memindahkan bulan dari satu jendela ke jendela lain. Ibu tertawa pelan saat melihatku. “Itu ritual apa?” tanyanya. “Ritual agar bintang-bintang tidak lupa jalan ke sini,” jawabku. “Kalau bintang tahu jalan, harapan juga akan tahu.”
Di luar, dengung kembali menebal, getar yang mengingatkan kami akan besok yang belum tentu punya bentuk. Tapi aku menutup mata dan mulai menghitung bintang, satu per satu, dari yang paling dekat dengan atap ini sampai yang bersembunyi di ujung lidah malam. Setiap nama yang kuucapkan adalah janji: kami akan bertahan, kami akan berdiri, kami akan memungut serpihan cahaya, sekecil apa pun, dan menempelkannya kembali ke langit.
Esoknya mungkin tidak datang sambil membawa roti yang hangat, atau sekolah yang utuh, atau ayah yang mengetuk pintu. Esoknya mungkin datang seperti hari-hari lain—dengan debu, dengan antrian, dengan kabar yang mematahkan lutut. Tetapi jika ada satu hal yang diajarkan malam-malam panjang ini, itu adalah: lilin kecil tetap bernyala karena ia memutuskan untuk bernyala. Dan kami, yang kecil di bawah langit yang luas, akan terus menyalakan diri kami, satu-satu, setulus mungkin—sampai bintang-bintang menemukan jalan pulang.
Aku masih menghafal nama-nama bintang. Aku akan terus menghafalnya—sebab suatu hari, ketika pintu itu benar-benar terbuka, aku ingin bisa menunjuk langit dan berkata kepada Salma, “Lihat, mereka kembali. Dan kita juga.”